Pustaka Lestari

Menuju Satu Abad Nahdlatul Ulama (Meneguhkan Komitmen Kebangsaan)

 

Oleh Arief Adi Wibowo (Wakil Sekretaris Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama)

 

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 Hijriah. Saat itu bertepatan dengan 31 Januari 1926 Masehi. Keputusan organisasi menetapkan dalam Anggaran Dasar bahwa hari lahir (Harlah) NU mengacu kepada kalender hijriyah. Berdasarkan ketetapan ini, 16 Rajab 1442 H akan jatuh pada 28 Februari 2021 M sehingga tanggal 31 Januari adalah tanggal historis, tanggal 28 Februari nanti menjadi harlah organisatoris.

Berdasarkan kalender miladiah, usia NU 95 tahun. Berdasarkan kalender hijriah, NU menginjak usia 98 tahun. Berdasarkan cara menghitungnya, keduanya sah. Dan bagi Nahdliyyin yang merayakan momen bersejarah ini baik tanggal 31 Januari maupun 28 Februari, sama-sama menunjukkan kecintaan pada organisasi Islam terbesar di tanah air. Hal ini merupakan wujud penghormatan terhadap dua sumbangan waktu bagi kemanusiaan yaitu sistem Syamsiyah dan Qamariyah. Sejarah panjang tertoreh, dan dua tahun lagi, NU akan memasuki usia satu abadnya dengan berbagai tantangan yang makin berat dan kompleks.  

Pertarungan ideologi yang tiada pernah usai. Meletakkan gerakan Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menjadi ruh NU akan selalu diuji oleh zaman. Kita telah menyaksikan demikian merusaknya teologi kekerasan atas dasar agama yang memiliki motif politik menjadi warna lini masa isu dan opini di negeri kita. Bukan hanya tekanan dari golongan puritan yang kaku dalam memahami teks ajaran Islam dan menampilkan wajah garang agama, ideologi yang mengedepankan kebebasan liberal juga menghadirkan berbagai ancaman kerusakan moral, sosial dan kultural.

Dalam wacana kebangsaan, warisan terbesar para pendiri NU sendiri adalah persatuan dan kesatuan (ittihad wat ta’alluf). Seperti ungkapan Hadratus Syaikh KH.Hasyim Asy’ari, “agama dan nasionalisme merupakan dua kutub yang tidak bisa dipertentangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.”

Lebih lanjut, hasil Muktamar ke-27 Situbondo tahun 1984 mengukuhkan hubungan nasionalisme dan agama dalam 2 (dua) keputusan. Pertama, Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Kedua, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang- Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam islam. Dengan demikian, pengakuan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara adalah final dan mengikat bagi seluruh umat Islam khususnya warga NU.

NU sebagai ormas keagamaan terbesar memiliki dua tanggung jawab sekaligus. Pertama, tanggung jawab keagamaan (mas’uliyah diniyah) dan tanggung jawab kebangsaan (mas’uliyah wathaniyah). Tanggung jawab keagamaan NU adalah bagaimana terus mengembangkan paham keagaamaan ala ahlussunnah wal jamaah yang terkenal dengan prinsip moderasi dan wasathiyah itu. Dan, tanggung jawab kebangsaan NU adalah bagaimana menjalankan komitmen kebangsaan dan kenegaraan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Untuk menjalankan dua tanggung jawab besar di atas, maka sebagai sebuah jam’iyyah, mutlak dibutuhkan sinkronisasi antara pikiran (fikrah) dan amaliyyah dengan gerakan (harakah). Kaderisasi menjadi kunci keberhasilan dalam membangun kesadaran bersama di antara nahdliyyin. Kaidah fikih al-muhafadzah ‘alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah selama ini menjadi landasan gerakan jam’iyyah NU. Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik.

Selain merawat tradisi-tradisi dan nilai-nilai keagamaan, merawat kesepakatan kebangsaan adalah bagian dari asas NU atau Al-Waffa-u bil’ahdi. Di sisi lain, para intelektual NU dituntut untuk terus mengasah daya nalar dan kepekaan terhadap perubahan-perubahan zaman baik dinamika politik, pasang surut ekonomi, sosial budaya hingga teknologi, sehingga mampu terus mengisi panggung wacana dan solusi bangsa agar relevan dengan waktu. Inovasi menjadi kata kunci.

Memasuki usia 100 tahun NU dalam waktu tidak lama lagi, menjadi pertanyaan sekaligus harapan mendasar bagi seluruh kader dan jama’ah NU untuk terus menampilkan wajah Islam yang moderat (tawwasuth) dan toleran (tasamuh) dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.