Selasa, 07 Agustus 2018
perspektif
Penyebaran virus hepatitis –terutama B dan C- adalah salah satu tantangan terbesar karena telah berdampak pada sekurangnya 325 juta orang di seluruh dunia. Virus ini adalah penyebab dari penyakit kanker hati (sirosis) yang diperkirakan menyebabkan kematian lebih dari satu juta orang setuap tahunnya.
Di Indonesia, diperkirakan satu dari sepuluh orang mengidap hepatitis B. Riset Kesehatan Dasar menyebutkan 7,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia mengalami hepatitis B, sementara hepatitis C sebanyak 1 persen. Namun penyebaran hepatitis masih serupa fenomena gunung es, sebab sebagian besar orang tidak menyadari bahwa mereka memiliki gejala dan tidak tahu bahwa mereka telah terinfeksi hepatitis B dan C. Tak teridentifikasinya hepatitis C menyebabkan satu dari empat orang meninggal akibat sirosis.
Cara penularan biasanya ada dua. Pertama, horisontal yaitu melalui jarum suntik dan kontak langsung dengan penderita seperti hubungan seksual. Kedua, vertikal yaitu dari ibu hamil kepada bayinya, yang ternyata merupakan cara penularan terbanyak yaitu 80 persen. Saat ini Kementerian Kesehatan RI telah memberikan pelayanan pemeriksaan kesehatan gratis kepada ibu hamil, terutama mereka yang sudah pernah dinyatakan positif terinfeksi hepatitis.
Namun perlu digarisbawahi, tanggung jawab untuk mewaspadai hepatitis tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu hamil melainkan juga pasangan mereka. Suami harus memeriksakan diri juga karena bisa jadi mereka sudah terinfeksi dan menularkannya kepada istri.
Saat ini diperkirakan sekitar 2,5 juta orang di Indonesia mengidap hepatitis C prevalensi sebesar 1,2 persen per 250 juta penduduk Indonesia. Namun sayangnya, hanya 3000 orang saja yang sudah secara sadar menjalani pengobatan gratis yang difasilitasi oleh Kementerian Kesehatan RI. Padahal tingkat kesembuhan dari obat yang diberikan ini bahkan mendekati 100 persen.
Mereka yang berobat ini biasanya adalah warga yang tergabung di dalam komunitas sehingga lebih paham dan terpapar dengan baik mengenai langkah-langkah pengobatan yang dapat ditempuh. Gaung untuk hepatitis C ini lebih terdengar juga di komunitas penderita hepatitis C yang juga menyandang HIV.
Masih rendahnya minat individu untuk memeriksakan diri sebetulnya juga dipicu oleh stigma yang masih melekat pada pengidap hepatitis. Memang ternyata 50 persen penderita hepapatis masih mengalami diskriminasi di kantor, misalnya dijauhi oleh rekan-rekannya bahkan untuk makan hanya boleh dengan piring kertas—agar langsung dibuang dan tidak ada potensi menularkan. Tak heran, banyak penderita hepatitis yang putus pengobatan di tengah jalan karena tak ingin ketahuan oleh keluarga dan pasangan mereka. Hal seperti ini mengakibatkan hepatitis menjadi lebih sulit untuk disembuhkan.
Deteksi dini hepatitis sebetulnya dapat dilakukan jika orang mau secara rutin melakukan medical check up –cek darah atau screening USG– apakah itu enam bulan atau setahun sekali. Delapan puluh persen dari pengidap hepatitis tidak mengalami gejala apapun, sehingga banyak pasien kemudian datang ketika penyakitnya terlanjur di tahap lanjut.
Selain deteksi dini, ada sejumlah hal yang juga penting untuk dilakukan untuk menjaga daya tahan tubuh dan kesehatan hati. Antara lain adalah berolahraga teratur, menghindari makanan dengan pemanis buatan dan pemakaian obat-obatan berlebihan. Patut kita waspadai bahwa sebagian besar obat pengencer darah atau suplemen memicu gangguan fungsi hati. Begitu juga dengan obat parasetamol yang diminum dengan dosis berlebihan.
Penting pula untuk mengonsumsi makanan tinggi serat agar kita terhindar dari fatty liver atau perlemakan hati yang terpicu makanan dan gaya hidup tak sehat.
Mari kita jaga dan lindungi hati kita, serta orang-orang di sekitar kita sebaik-baiknya, serta ikut menyukseskan target pemerintah untuk menghapuskan hepatitis di Indonesia pada 2030.
Artikel terkait :