Rabu, 08 Agustus 2018
berita
Bagi Anda yang aktif di media sosial, beberapa bulan lalu mungkin familiar dengan foto ini; seekor harimau yang telah mati digantung di balai desa di Mandailing Natal, Sumatera Utara, menjadi tontonan warga dan dibahas di mana-mana. Ia diburu lantas dibunuh karena selama sebulan terakhir dianggap meresahkan warga dengan mengganggu mereka yang turun berladang bahkan sampai menyatroni kampung dan memangsa ternak peliharaan.
Menurut tfcasumatera.org, harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) adalah sub-spesies terakhir dari jenis harimau yang pernah ada di Indonesia. Tahun 1970-an, jumlah harimau sumatera masih sekitar 1.000 ekor, dan menyusut jadi 400-500 ekor pada akhir 1990-an. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tahun 2007, populasi hewan ini tinggal 250-an ekor saja, tersebar dari Aceh, Sumatera Utara, Riau sampai ke Lampung. Penyebab utama harimau sumatera di ambang kepunahan antara lain karena luas hutan yang menjadi habitatnya terus berkurang dan manusia tak juga berhenti memburunya, entah untuk sekadar hobi atau demi mengambil dan menjual kulit, daging dan anggota tubuh lainnya.
Mereka yang membunuh harimau menganggap aksi mereka sah-sah saja karena si penguasa hutan dianggap mengganggu kehidupan warga sekitar hutan, bahkan tak segan memangsa manusia juga. Tapi yang harus diperhatikan adalah alasan harimau sampai merambah masuk ke wilayah pemukiman. Harimau adalah hewan penjelajah yang hidup di hutan tropis dataran rendah. Ketika tutupan hutan di seluruh Sumatera semakin tergerus oleh laju pembangunan dan ekspansi perkebunan, tentu saja wilayah jelajah harimau semakin sempit, lahan mencari makan pun makin berkurang. Inilah alasan utama, mereka terpaksa masuk ke wilayah pemukiman dan berkonflik dengan manusia.
Memulihkan habitat harimau bukan perkara mudah, tapi hal ini bisa dimulai dengan sebuah pendekatan yang menyeluruh. Dengan masukan dari masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat bisa bekerjasama membuat penataan ruang yang ramah lingkungan untuk memastikan pembangunan tidak membawa dampak buruk bagi proses pelestarian hutan. Pengelola taman nasional dan suaka margasatwa dapat menjadi mediator untuk mengadakan diskusi dan urun-rembug untuk menyelesaikan konfik manusia dengan harimau, sehingga kegiatan ekonomi tidak merugikan ekosistem yang sudah ada.
Di tingkat tapak, patroli bersama antara pengelola hutan atau taman nasional dan warga dapat memastikan perambah hutan tidak masuk ke dalam area jelajah harimau, dan sebaliknya, harimua dapat dihalau masuk ke wilayah pemukiman. Teknologi seperti camera trap dapat memantau jejak harimau, untuk memastikan jumlah populasi terkini, sehingga usaha-usaha penyelamatan si hewan langka bisa lebih efisien dan terarah.
Artikel terkait :
https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-43283568