Jum'at, 13 Maret 2020
berita
Perlindungan masyarakat adat masih menjadi tantangan di seluruh dunia. Seperti dilansir oleh mongabay.co.id, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyatakan, dari sekitar 370 juta masyarakat adat di seluruh dunia, sebagian besar belum mendapatkan hak-hak dasar mereka.
Tak hanya tantangan ekonomi dan sosial, budaya masyarakat adat pun kian hari kian tergerus. PBB menyebutkan, 6.700 bahasa atau sekitar separuh dari seluruh bahasa di dunia – sebagian besar bahasa masyarakat adat – juga akan terancam punah. Sebuah laporan organisasi buruh internasional (ILO) menyebutkan dalam hal isu perubahan iklim, masyarakat adat adalah kelompok rentan terdampak perubahan iklim. Hal ini tentu menjadi sebuah ironi, karena faktanya, masyarakat adat adalah agen bagi perjuangan melawan perubahan iklim. Mengapa? Karena model ekonomi dan pengetahuan tradisional yang mereka miliki adalah bagian dari kearifan lokal yang penting untuk dijadikan barometer kebijakan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Di Indonesia, program-program peningkatan pembangunan atau perlindungan sumber daya alam dulu, terutama di luar Jawa, cenderung menafikan hak-hak hidup dan keberadaan masyarakat adat. Dihadapkan pada permasalahan seperti ini, masyarakat adat cenderung tak bisa membela diri karena tak punya akses terhadap kekuasaan. Padahal kenyataannya, masyarakat adat telah ada selama ratusan tahun. Mereka adalah entitas antropologis yang tumbuh secara alamiah pada wilayah tertentu di muka bumi, dan terdiri dari berbagai komunitas primordial yang warganya mempunyai hubungan darah satu sama lainnya.
Salah satu konsep untuk memperkuat masyarakat adat dan menjadikan mereka mandiri adalah dengan mendorong sistem ekonomi lokal yang bertumpu pada pemberdayaan usaha kecil-menengah. Ketimbang menggenjot pertumbuhan industri besar di wilayah non-perkotaan, hal ini terbukti menjadikan masyarakat adat lebih mandiri, bahkan menjadikan pendapatan regional lebih besar dari pendapatan perkapita daerah.
Tahun ini, Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat kembali masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas), yang artinya pembahasan dan pengesahannya menjadi bagian dari prioritas kerja Dewan Pimpinan Rakyat. Ini tentu saja menjadi angin segar bagi kita semua, karena undang-undang ini akan berfungsi sebagai peletak dasar pengaturan beserta hak-hak yang bersifat komprehensif bagi masyarakat adat.
Setidaknya, ada 3 alasan utama perlunya RUU Masyarakat Hukum Adat segera disahkan menjadi undang-undang. Pertama, secara yuridis masyarakat adat disebutkan dalam konstitusi UUD Tahun 1945, hukum dasar negara kita. Kedua, secara filosofis tak seluruhnya urusan kehidupan sehari-hari warga negara diatur oleh negara, tak terkecuali masyarakat adat. Di sejumlah wilayah di dunia, masyarakat adat terbukti memiliki kemampuan mengurus dirinya sendiri. Ketiga, secara sosiologis, masyarakat Indonesia bersifat majemuk, sebuah kelebihan tersendiri yang wajib mendapat perlindungan dan pengaturan yang layak oleh negara. Undang-undang Masyarakat juga penting untuk memberikan pengakuan terhadap tanah yang sudah mereka huni selama beratus-ratus tahun. Selama ini, peraturan perundang-undangan dalam sektor alam dan pertanahan cenderung tidak membahas hak atas tanah yang dimiliki masyarakat adat.
Kehadiran Undang-undang Masyarakat Adat akan membuka lembaran baru perlindungan masyarakat adat. Dengan adanya pengakuan hak kolektif masyarakat adat, mereka akan menjadi bagian utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka bisa menikmati hak memilih, bersekolah, dan bekerja dengan layak. ***