Minggu, 15 Maret 2020
berita
Konsumen merupakan elemen sangat penting dalam roda perekonomian sebuah negara. Karena penting, hak-hak konsumen pun dilindungi dengan seksama. Setiap bulan Maret diperingati masyarakat dunia sebagai International Consumer Rights Day atau Hari Hak-Hak Konsumen. Awalnya adalah ketika Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy mengajukan undang-undang tentang hak konsumen pada 15 Maret 1962. Ia tercatat sebagai presiden pertama di dunia yang mengambil langkah tersebut. Dari situlah Hari Konsumen Sedunia kemudian disepakati jatuh pada 15 Maret di seluruh dunia. Tujuan hari peringatan ini adalah untuk membangun kesadaran tentang hak-hak dan kebutuhan konsumen.
Di Indonesia sendiri gerakan perlindungan konsumen mulai terdengar dan populer pada tahun 1970-an dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 1973. Setelahnya menyusul berdirinya Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang pada Februari 1988. Kedua lembaga ini merupakan anggota dari Consumer International (CI). Kini semakin banyak berdiri lembaga-lembaga perlindungan konsumen di Indonesia yang memiliki peranan penting memberi perlindungan konsumen di Indonesia baik dari segi advokasi maupun edukasi dalam masyarakat soal hak-hak konsumen.
Lantas, siapakah sebenarnya konsumen? Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa, seorang konsumen dilindungi hak-haknya. Untuk itu, dalam UU Perlindungan Konsumen pasal 4, hak-hak konsumen secara jelas dijabarkan. Yang dimaksud dengan hak-hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa. Selain itu, termasuk juga hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi jaminan yang dijanjikan.
Selain kedua hak di atas, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan hak konsumen juga meliputi:
-Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
-Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
-Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
-Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
-Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
-Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
-Hak-hal yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Dalam melindungi hak-hak konsumen, peran pemerintah menjadi sangat krusial, terutama ketika dikaitkan dengan keselamatan jiwa. Saat terjadi tragedi tenggelamnya kapal motor KM Sinar Bangun di perairan Danau Toba dan KM Lestari Maju di Selayar Sulawesi Selatan pada tahun 2018, pemerintah mendapat sorotan keras. Sekretaris Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen (LAPK) Padian Adi S. Siregar, seperti dikutip Tribun Medan, menyatakan kejadian itu menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah yang terkesan mengabaikan keselamatan penumpang.
Menurut Padian, pemerintah dinilai terlalu fokus melakukan pengawasan transportasi darat tetapi lalai pada transportasi penyeberangan khususnya kapal penyeberangan rakyat. Tidak ketatnya pengawasan manifesto penumpang oleh syahbandar yang menimbulkan over kapasitas (kapasitas 40 orang dengan penumpang 200 orang) diduga sebagai penyebab tenggelamnya kapal. Faktor keselamatan penumpang juga luput dari pengawasan pemerintah, seperti kelayakan kapal, tidak adanya pelampung dan life jacket.
Sering terjadi saat momentum hari besar yang seharusnya membutuhkan pengawasan lebih melekat dengan melakukan peningkatan pengawasan dan penegakan aturan secara ketat namun yang terjadi sebaliknya, oknum pemerintah membuka peluang pelaku transportasi melakukan pelanggaran. Melonjaknya jumlah penumpang seringkali menjadi ajang mencari keuntungan pribadi dan mengabaikan faktor keselamatan penumpang.
Dalam hal kesehatan pun pemerintah tak lepas dari gugatan rakyat sebagai konsumen. Pada masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) digugat karena belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Konvensi pengendalian rokok dan tembakau tersebut telah disepakati Sidang Kesehatan Dunia (World Health Assembly) pada 2003 namun belum juga diratifikasi oleh pemerintahan SBY. Gugatan terhadap pemerintah didaftarkan di PN Jakpus pada 19 Juni 2008, diajukan oleh empat lembaga yakni YLKI, Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS), dan Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (YLM3). Gugatan tersebut bertujuan mendesak presiden SBY untuk meratifikasi FCTC. Menurut YLKI lambannya pemerintah meratifikasi FCTC menjadi bukti bahwa pemerintah lalai dalam melindungi rakyatnya dari dampak buruk merokok.
Dalam urusan bencana, baik bencana alam, bencana non-alam hingga bencana sosial, pemerintah pun bertanggung jawab melindungi rakyatnya. Caranya dengan melakukan upaya penanggulangan bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Kegiatan pencegahan bencana dilakukan untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi ancaman bencana. Kegagalan dalam melangsungkan rangkaian pencegahan bencana akan menimbulkan kerugian bagi rakyat.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo memandang perlindungan konsumen sebagai hal yang sangat penting dalam menjaga stabilitas ekonomi. Konsumsi masyarakat menjadi motor penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Disebutkan, konsumsi masyarakat berkontribusi rata-rata 55,94 persen terhadap PDB. Karena itu, menurut Jokowi, efektivitas kehadiran negara dalam melindungi konsumen bisa dilihat dari sejauh mana norma dan standar bisa dipenuhi oleh para produsen. Ukuran lainnya adalah pengawasan dan penegakan hukum yang dijalankan bisa efektif.
Indeks kepercayaan konsumen Indonesia pada tahun 2016 masih tergolong rendah yakni 30,86 persen. Dari angka tersebut dapat dilihat bahwa konsumen Indonesia hanya sebatas paham terhadap hak-hak konsumen. Masih jauh dibandingkan negara-negara Eropa yang indek kepercayaannya mencapai 51,31 persen. Untuk itu edukasi sangat diperlukan agar konsumen Indonesia bisa lebih cerdas dan bijaksana, juga tidak terjebak dalam konsumerisme. Dan yang jelas, konsumen perlu menyadari bahwa haknya dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sehingga dapat melakukan kontrol sosial terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah. ***