Pustaka Lestari

Klientelisme dan Budaya Korupsi

Senin, 19 April 2021 politik, politisi, klientelisme, korupsi

Luthfi Assyaukanie, PhD (Tenaga ahli Wakil Ketua MPR-RI)

 

Penangkapan Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan, mengejutkan banyak orang. Bagaimana tidak, selama ini, Nurdin dikenal sebagai kepala daerah yang bersih dan penuh prestasi. Selama menjabat sebagai Bupati Bantaeng, pencapaiannya luar biasa. Ia menyulap kabupaten tertinggal itu menjadi salah satu pusat ekonomi penting di Sulawesi Selatan.

Karena kinerjanya yang istimewa, Nurdin dianugerahi sejumlah penghargaan oleh berbagai lembaga. Pada 2017, dia meraih Bung Hatta Anti-Corruption Award, penghargaan paling bergengsi dalam bidang anti-korupsi. Pada tahun yang sama, dia juga mendapat penghargaan dari Ombudsman Republik Indonesia berkat kepiawaiannya mengelola birokrasi. Setahun sebelumnya, pada 2016, Presiden Jokowi menganugerahinya Bintang Jasa Utama Bidang Koperasi dan UKM.

Kok bisa orang yang selama ini dikenal bersih dan memiliki track-record gemilang melakukan korupsi?

Tulisan ini ingin menjelaskan mengapa korupsi terjadi di Indonesia. Saya tidak hanya ingin menjelaskan kasus yang menimpa Nurdin Abdullah, tapi juga kasus-kasus lain yang menyeret orang yang kita anggap "baik" atau "bersih" tapi tiba-tiba ketangkap KPK.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi adalah "perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain, baik perorangan maupun korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara/perekonomian negara."

Dalam bentuk konkritnya, korupsi dilakukan dengan cara penyuapan, penggelapan, pemerasan, dan gratifikasi. Penyuapan adalah modus yang paling sering terjadi di kalangan pejabat, baik dengan cara-cara langsung (misalnya memberikan sejumlah uang) maupun cara-cara tak langsung (misalnya dengan memberikannya atau keluarganya pelayanan khusus).

Pemberian gratifikasi adalah modus lain yang kerap berlaku di kalangan pejabat. Modus ini dilakukan sebagai tanda terima kasih karena telah menggolkan sebuah proyek atau telah memberi seseorang jabatan tertentu.

Korupsi dalam bentuk suap atau gratifikasi adalah sesuatu yang lumrah di negeri ini. Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), sekitar 29 persen masyarakat Indonesia menganggap suap atau gratifikasi sebagai sesuatu yang wajar (LSI, Januari 2021). Kalangan pengusaha (23 persen) juga menganggapnya sebagai praktek yang jamak dilakukan ketika mereka berurusan dengan birokrasi pemerintah. Di tingkat kelurahan atau Polsek, praktek-praktek suap kerap terjadi.

KPK tidak mengurusi korupsi di level itu. Yang menjadi fokus KPK adalah korupsi dalam skala besar. Ini biasanya terjadi di tingkat kementerian, lembaga negara seperti DPR, kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. KPK lebih banyak mengurusi korupsi di lembaga-lembaga itu, karena ia melibatkan jumlah uang yang besar.

Pertanyaannya, mengapa korupsi masih terus terjadi, meski sudah ratusan orang ditangkapi KPK? Mengapa para pejabat negara selalu jatuh di lubang yang sama?

Kajian-kajian tentang korupsi menyebutkan ada banyak sebab mengapa seseorang melakukan korupsi. Ada orang korupsi karena mentalnya memang korup. Dia korupsi karena rakus, ingin mendapatkan penghasilan lebih meskipun sudah mendapatkan berbagai fasilitas. Ada yang korupsi karena terpaksa, mungkin karena ingin membeli sesuatu atau ingin membahagiakan keluarganya.

Tapi, yang lebih sering kita lihat dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat yang terkena OTT-KPK, adalah orang-orang yang kehidupannya cukup makmur dan latar belakangnya tak memiliki persoalan dengan uang. Gubernur Nurdin Abdullah adalah salah satu contohnya. Dia seorang yang hidupnya lebih dari cukup. Sebelum menjadi gubernur, kekayaannya lebih dari Rp. 50 miliar.

Mengapa para pejabat itu melakukan korupsi? Beberapa studi tentang politik uang di Indonesia menunjukkan ada banyak kasus pejabat atau kepala daerah yang mencapai jabatannya berkat jasa seseorang. Umumnya adalah pengusaha atau pemodal. Korupsi "orang-orang baik" kerap kali bermula dari sini.

Menurut Edward Aspinall dan Ward Berenschot (Democracy for Sale, 2019), kolaborasi politisi-pengusaha dalam memenangkan kontes demokrasi (Pemilu/Pilkada) adalah bagian dari klientelisme (clientelism) yang sudah mengakar di Indonesia. Klientelisme adalah praktek pertukaran barang atau kepentingan antara pemilih (voters) dan politisi untuk dukungan politik.

Ketimbang menjual program kerja, para politisi mengambil jalan pintas dengan membeli suara (vote buying) dari masyarakat langsung dengan uang atau barang. Tentu saja, diperlukan modal yang besar untuk membeli suara yang banyak. Nah, modal ini didapat dari pengusaha yang sudah siap-siaga menggelontorkan uangnya.

Mengapa praktek klientelisme begitu mengakar di Indonesia? Salah satu jawabannya adalah karena lemahnya partai politik. Meskipun peran partai politik sangat penting dalam menentukan pencalonan seseorang, dalam perjalanannya, seorang kandidat harus berjuang sendiri dengan sumber daya yang dia miliki. Dengan sumber daya itu dia akan membentuk "tim sukses" sendiri yang independen dari partainya. Para pengelola tim sukses ini biasanya adalah pemimpin masyarakat, aktivis, atau tokoh berpengaruh yang tak ada hubungannya dengan partai sang kandidat.

Seorang kandidat bisa saja dari (atau diusung oleh) Partai X, tapi sebagian besar anggota tim suksesnya pendukung Partai Z. Kasus-kasus seperti ini kerap terjadi di beberapa Dapil, di mana seorang kandidat lebih populer dan lebih dihormati daripada partai yang mengusungnya. Tim sukses ini yang mengarahkan kerja-kerja pemenangan, termasuk mengumpulkan dan mendistribusikan sumber daya.

Dengan status yang independen dan jauh dari kontrol partai, seorang kandidat tidak merasa berhutang atau bertanggungjawab pada partai. Sebaliknya, dia lebih merasa berhutang pada pemodal/pengusaha yang membiayai kampanye dan tim suksesnya. Pada gilirannya, ketika dia menang dan menduduki suatu jabatan, dia akan membayar hutang-hutangnya, lewat proyek-proyek pembangunan dari APBN/APBD.

Di tengah budaya yang permisif terhadap suap dan gratifikasi, korupsi menjadi perangkap mematikan bagi para pejabat yang kurang hati-hati. Seseorang yang selama ini terlihat bersih dan tak pernah berurusan dengan KPK tidak berarti bahwa dia tidak korup. Apa yang dianggap wajar oleh pejabat dan pengusaha, belum tentu wajar di mata KPK.