Senin, 19 Juli 2021
Mbak Rerie, Lestari Moerdijat, sahabat lestari, MPR RI, Indonesia, lawan covid-19, kolaborasi, solidaritas, bela negara, nasionalisme, covid 19
Lestari Moerdijat, S.S., M.M., Wakil Ketua MPR RI
Sense of crisis manusia diuji oleh turbulensi yang menyasar kemapanan hidup manusia. Covid-19 hadir dalam era disrupsi, saat manusia berinovasi dengan teknologi. Dalam ragam upaya membatasi penyebaran virus melalui protokol kesehatan dan pembatasan sosial sebagai kenormalan baru, sense of nationalism teruji dalam koridor sebagai bagian dari masyarakat dunia. Tersedianya vaksin membangkitkan optimisme kebangkitan di berbagai sektor. Grafik menunjukkan pandemi belum berakhir tetapi sebuah harapan terukir.
Krisis dan Sentimen Kebangsaan
Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Tim Wakil Ketua MPR RI Bidang Koordinasi Aspirasi Masyarakat dan Daerah, sebesar 87% responden setuju bahwa virus korona adalah sebuah ancaman serius bagi Indonesia. Dalam word cloud analysis responden memahami bahwa ancaman pandemi ini bukan hanya masalah kesehatan akibat Covid 19 semata tetapi mengakibatkan menurunnya aktivitas perekonomian yang berujung pada ancaman stabilitas nasional.
Responden yang berasal dari kalangan anak muda menyebut bahwa gotong royong merupakan nilai dasar ideologi kebangsaan yang diperlukan dan makin diperkuat dalam rangka mempererat tali kebangsaan dengan memperkuat persatuan bangsa terutama dalam situasi krisis. Penguatan ideologi kebangsaan dan semangat solidaritas, kolaborasi antar daerah menjadi solusi dan lebih diutamakan daripada kompetisi dalam upaya menghentikan rantai penyebaran wabah. Tanpa disadari, anak muda menunjukkan sebuah kepedulian penuh pada bangsa dan negara. Responden tak menyebut satu kelompok saja dalam proses pengumpulan data.
Krisis, yang merupakan perubahan kondisi secara umum dalam kehidupan manusia berdampak pada perubahan perilaku sebagai respon terhadap krisis. Bahwa manusia beranjak mencapai sebuah fase tanggap darurat tanpa menanggalkan semangat berbangsa. Evolusi perilaku ditempatkan pada sentiment kebangsaan atau mengedepankan kepentingan bangsa dalam situasi krisis. Bahwa dalam situasi yang memukul setiap sektor kehidupan manusia, nations matter. Kehidupan berbangsa adalah yang utama.
Evolusi Habitus Berbangsa
Akhir tahun 2019, pasca pemilihan langsung presiden dan wakil presiden, eksistensi masyarakat Indonesia dibalut dengan dikotomi yang menjadi narasi sosial politik. Publik tak menolak bahwa kluster masyarakat atas nama basis dukungan politik merupakan kenormalan dalam berdemokrasi. Menjadi tak sehat dalam relasi sosial saat keragaman identitas bangsa menjadi alat untuk memecah persatuan bangsa. Sisi lain pandemi Covid-19 mesti melampaui dikotomi sosial politik.
Masih teringat, seminggu setelah pemerintah mengumumkan pasien Covid-19 pertama di Indonesia, Maret 2020, terjadi kesulitan menemukan alat pelindung diri seperti masker, hand sanitizer dan alcohol. Terjadi lonjakan harga karena penimbunan. Beberapa pihak mengambil keuntungan di tengah krisis. Menghadapi situasi darurat, warga tidak kehilangan akal. Mereka membuat masker dari kain dan menjualnya dengan harga terjangkau. Warga membuat hand sanitizer sesuai panduan WHO yang bahan dasarnya dari alkohol di atas 60%.
Kampanye di media sosial beragam dengan tagar “salingjagasalingasuh”, “solidaritaswarga” atau “masker4all”. Gerakan membuat masker sendiri semakin masif, para penimbun masker kembali menjual dengan harga normal dan mereka yang mengisolasi diri secara mandiri membangun dukungan melalui sosial media. Gerakan lain, tersedianya dapur umum dan gerakan saling jaga dengan menyediakan bahan pokok makanan bagi tetangga dengan menggantung kebutuhan di pagar rumah.
Bulan Mei 2020, Bank Indonesia mencatat transaksi e-commerce meningkat. Indonesia memiliki mobile customer mencapait 338,2 juta; pengguna internet 175,4 juta orang dan pengguna aktif media sosial sebanyak 160 juta orang. Adopsi digital di Indonesia terakselerasi di masa pandemi Covid-19. Masyarakat beralih dari konvensional menuju online termasuk dalam melakukan transaksi belanja akibt adanya pembatasan aktivitas untuk menekan bertambahnya kasus Covid-19.
Terjadi evolusi habitus, perilaku sosial menanggapi krisis. Dampak dari gerak bersama mau tidak mau memaksa eksklusivitas menjadi inklusivitas. Inisiasi gerakan membantu yang dilakukan kelompok perempuan menjadi cermin bahwa dikotomi tak mampu mengatasi unitas. Kesatuan melunturkan setiap perbedaan dalam gerakan saling jaga yang digalakkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, jogo tonggo. Habitus berbangsa periodik karena perbedaan pilihan berevolusi dalam rekonsiliasi melawan penyebaran wabah korona. Sebuah kesadaran sosial terbangun bahwa perjalanan kita sebagai satu bangsa ke depan akan lebih kompleks dihadapkan pada situasi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity and Ambiguity) di mana kita sebagai individu dan bagian dari organisasi negara dan masyarakat harus mempersiapkan diri dan selalu menjadi pembelajar dan berani berubah.
Nasionalisme, Basis Persatuan
Para pendiri bangsa Indonesia tentu melalui fase kontemplasi saat meletakkan kebhinekaan sebagai salah satu pilar maupun konsensus kebangsaan. Kita tak mengira bahwa solidaritas sosial dan kedermawanan sebagian anak bangsa adalah modal utama saat berhadapan dengan Covid-19. Menurut The CAF World Giving Index, Indonesia merupakan salah satu negara yang terus bertumbuh giving index-nya dalam 10 tahun terakhir menurut Charities Aid Foundation Survey.
Wujud gotong-royong terus ditampilkan masyarakan dalam periode pandemi korona. Kedermawanan dan solidaritas pada orang lain dipadu dengan nilai yang termaktub dalam tatanan berbangsa dan bernegara. Pemaknaan nilai sila pertama dan kedua dalam kehidupan berbangsa bernegara sila ketiga dan keempat menjadi modal sosial bagi bangsa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nasionalisme menjadi alasan pertama, utama untuk keselamatan masyarakan Indonesia sekaligus menjadi basis persatuan. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, kolaborasi dan kerja sama melawan wabah adalah mutlak. Sembari membangun kerja sama dengan negara lain, nasionalisme tak boleh luntur oleh kepentingan sesaat.
Atas nama nasionalisme dan komitmen bahwa keselamatan manusia adalah hukum tertinggi, kita bersama menyongsong masa post-Covid19 yakni periode pemulihan ekonomi dan kebangkitan masyarakat. Oleh karena itu, tindakan yang patut dilakukan oleh pemerintah sebagai pengayom masyarakat adalah meningkatkan test, trace and treatment, sambil memastikan pemberian vaksin secara efektif untuk mencegah penyebaran wabah, mempercepat reformasi struktural untuk akselerasi pemulihan ekonomi, melalui pengembangan potensi ekonomi secara optimal, merumuskan kebijakan fiskal yang mesti berorientasi pada masyarakat terdampak sebagai wujud cricis response serta mengawasi dan mendorong produktivitas masyarakat pada sektor privat, UMKM.
***
*) Dipublikasikan pada Majalah Majelis EDISI NO.02/TH.XV/FEBRUARI 2021
Foto: Media Indonesia