Sabtu, 28 Mei 2022
kekerasan seksual, perlindungan perempuan, perempuan, Undang Undang, TPKS
Arimbi Heroepoetri.,S.H.,LL.M
Direktur PKPBerdikari, Fellow MIT – UID Ideas 5.0, Tenaga Ahli Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI)
Selama bertahun-tahun menjadi pendamping korban kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual, adalah sebuah pekerjaan penting namun senyap. Mereka diperlukan oleh para korban, namun sistem hukum kita hanya mengakui pendamping hukum saja, yaitu para pengacara hukum, diluar itu tidak.
Kesulitan utama yang kerap dihadapi adalah bagaimana membangun kesadaran perempuan di depan hukum. Perempuan acapkali dibayangi rasa takut dan trauma. Akibatnya, kerap kesulitan memberikan informasi utuh mengenai kasus yang perempuan itu hadapi. Mereka sering tak bisa leluasa menyampaikan informasi karena dihinggapi rasa cemas dan dibayangi ketakutan.
Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan berhadapan dengan hukum. PERMA ini mengatur mengenai hak-hak apa saja yang dapat diperoleh bagi perempuan berhadapan dengan hukum di persidangan, dan menjadi pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara Perempuan berhadapan dengan hukum. Lahirnya regulasi ini menjadi titik awal bagi perubahan sistem hukum Indonesia, khususnya mengenai perlindungan hukum dan jaminan hak bagi perempuan berhadapan dengan hukum.
Kemudian dalam lingkup Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum lahir Permenkumham 3 tahun 2021 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Pengaturan dalam Peraturan Menteri ini berlaku bagi Paralegal yang tergabung dalam Pemberi Bantuan Hukum.
Hadirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) meneguhkan pengakuan hukum secara menyeluruh pentingnya peran pendamping dalam penyelesaian kasus di ruang pengadilan. Inilah salah satu terobosan hukum yang baik yang diatur oleh UU TPKS. Pendamping korban tidak lagi dipandang sebelah mata dalam proses peradilan, namun menjadi bagian penting dalam proses penyelesaian perkara. Korban dapat didampingi oleh Pendamping pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan (Pasal 26 ayat 1), dan ada kekebalan hukum bagi pendamping ketika ia melakukan pendampingan korban dan saksi (Pasal 28 dan 29). Artinya sang pendamping tidak bisa dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, ketika menjalankan perannya, kecuali memang tidak beritikad baik. Maklum untuk urusan kekerasan seksual sebagian besar masyarakat masih memandang sebagai urusan moral yang tabu untuk diperkarakan.
UU TPKS mendefinisikan Pendamping sebagai orang yang dipercaya dan memiliki kompetensi mendampingi Korban dalam mengakses hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan (Pasal 1 poin 14). Di mana pendamping korban meliputi:
a. petugas LPSK (Lembaga Perliindungan Saksi dan Korban);
b. petugas UPTD PPA;
c. tenaga kesehatan;
d. psikolog;
e. pekerja sosial;
f. tenaga kesejahteraan sosial;
g. psikiater;
h. Pendamping hukum, meliputi advokat dan paralegal;
i. petugas Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat; dan
j. Pendamping lain. (26 ayat 2)
Tentu saja pendamping korban perlu memiliki keahlian khusus. UU TPKS menegaskan syarat minimum sebagai pendamping korban, yaitu memiliki kompetensi tentang Penanganan Korban yang berperspektif hak asasi manusia dan sensitivitas gender; serta telah mengikuti pelatihan penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Pasal 26 ayat 3).
Dengan diakuinya pendamping korban dari berbagai macam profesi, juga dilindunginya para pendamping korban ketika menjalankan pekerjaannya secara hukum oleh UU TPKS ini memberikan landasan yang kuat bagi pendamping untuk bekerja mendampingi korban. Sehingga diharapkan pada akhirnya hak korban akan keadilan dapat semakin terpenuhi tanpa rasa was-was lagi. Sesuatu yang telah diletakan dasarnya lima tahun lalu melalui PERMA No. 3 Tahun 2017.