Kamis, 09 Januari 2025
pemilihan umum, pemilu 2024, nasib perempuan, demorasi otoriter, perempuan, demokrasi
Oleh: Eva K Sundari (Institut Sarinah)
-
Hak pilih perempuan adalah hak yang fundamental. Perempuan harus memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam politik dan demokrasi." (Sukarno, Indonesia Menentukan Nasibnya - Risalah Kongres Pemuda Indonesia Kedua -1928).
Laporan Variaty Democracy 2024 (berdasar data 2023) menempatkan Indonesia ke dalam kategori “Demokrasi Elektoral” meski berada di group terendah bersama Malaysia. Tetapi pelaksanaan Pemilu 2024 yang banyak kontroversi dan kecurangan tampaknya telah melempar Indonesia ke kategori “Demokrasi Bercorak Otoriter”. V-Dem_Democracy-Report_2024 tersebut juga menyimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia telah mengalami kemunduran. Beberapa indikator disajikan sebagai alasan misalnya menyempitnya kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, dan partisipasi politik. Laporan V-Demokrasi sebenarnya melengkapi kesimpulan yang sama oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) 2023 yang menyebut Indonesia sebagai "flawed democracy" atau demokrasi yang cacat. Sebelumya House of Freedom (2021) menyebut demokrasi Indonesia sebagai "partly free" (sebagian bebas).
V-Dem mengingatkan bahwa korupsi, nepotisme, dan lemahnya penegakan hukum sebagai permasalahan serius demokrasi Indonesia. Film Dirty Vote tahun 2024 atau Film Sexy Killer serta hasıl investigasi jurnalisme terkait kebijakan perijinan tambang memberikan data dugaan adanya state’s captured corruption (korupsi oleh negara) di sektor tambang. Masih ada harapan agar demokrasi Indonesia membaik menurut V-Dem_Democracy-Report_2024 yaitu jika ada tingkat partisipasi pemilih yang tinggi dan tingkat kepercayaan publik yang relatif besar kepada lembaga-lembaga demokrasi. Faktanya, pelaksanaan Pemilu 2024 membuyarkan harapan tersebut.
Laporan netizen tentang praktek “kecurangan” pemilu memang lebih buruk dari Film Dirty Vote. Kecurangan, intimidasi, politisasi bansos, politik uang dilakukan secara masif baik oleh birokrasi, aparat keamanan dan partai politik koalisi maupun oleh masyarakat sipil baik penyelenggara, pengawas pemilu maupun pemilih. Pemilu 2024 memang telah mampu menggerakkan pemilih hingga sekitar 80an%, tetapi jika karena dorongan politik uang dan gentong babi maka itu penipuan.
Litbang Kompas menemukan adanya 51 juta pemilih menerima bansos dari timses Koalisi Indonesia Maju dan aparat. Pantas jika kemudian 62% penduduk setuju adanya Hak Angket Kecurangan Pemilu 2024 di DPR untuk menyoal kemenangan pilpres satu putaran.
Dari perspektif Feminisme Pancasila, kecurangan Pemilu sudah dimulai saat KPU Mengeluarkan PKPU No 10/2023 yang membatasi partisipasi perempuan untuk dipilih. PKPU ini menghilangkan asas keadilan dari Pemilu 2024. Apalagi, KPU kemudian mengabaikan rekomendasi MA dan Bawaslu untuk memperbaiki PKPU no 10 tersebut.
Kampanye perempuan (terutama yang non koalisi) semakin sempit saat menghadapi politik uang dan gentong babi. Kerja-kerja politik yang akuntabel terhapus apalagi kemudian menghadapi kecurangan saat penghitungan suara. Caleg perempuan tidak berdaya menghadapi praktek pemindahan suara atau penggelembungan oleh saksi partai, PPS dan PPK maupun dari sistem siRekap milik KPU.
Caleg perempuan menghadapi lebih banyak hambatan mulai pra pendaftaran (diskriminasi di internal partai dan PKPU), saat pencoblosan (politik gentong babi dan diskriminasi di masyarakat) hingga paska coblosan berupa kecurangan rekapitulasi suara. Bagi perempuan, pemilu 2024 adalah tidak JURDIL karena adanya tirani uang dan perilaku otokrasi dari kekuasaan.
Praktek politik uang memiliki dampak yang signifikan bagi politisi perempuan karena mempersempit ruang politik mereka. Politik uang membuat perempuan lebih sulit untuk memasuki dunia politik dan mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Politik uang juga memperkuat stereotip bahwa perempuan tidak membawa alternatif politik dan permisif terhadap penyuapan sehingga tidak kompeten untuk dipilih. Perempuan (di koalisi pemenang) juga kemudian dianggap menjadi pendorong korupsi karena kandidat yang terpilih juga akan berusaha untuk balik modal. Politik uang atau "tirani uang" jelas merobek prinsip demokrasi karena menggantikan kontestasi gagasan/orang dengan uang. Politik uang juga mendistorsi proses demokrasi dengan memberikan keuntungan bagi kandidat yang memiliki uang lebih banyak.
Adanya fakta politisasi bansos dan tirani uang jelas menjadikan Pemilu 2024 tidak bisa disebut jujur dan adil (jurdil) secara keseluruhan karena korbannya laki dan perempuan yang berintegritas. Politisi yang menang merasa tidak perlu membangun ikatan dengan pemilih karena ikatannya transaksional: beli suara. Politisi justru merasa lebih berhutang kepada pemodal mereka yaitu pengampu koalisi.
Dengan demikian, Pemilu 2024 telah menyorongkan RI ke praktek demokrasi bercorak otoriter dengan cara menggabungkan elemen demokrasi dan otokrasi. Pemilihan umum memang berlangsung tetapi dengan kontrol kuat dari pemerintah (penguasa).
Demokrasi bercorak otoriter juga ditandai adanya pembatasan kebebasan berekspresi dan berasosiasi. Intimidasi oleh aparat keamanan dan birokrasi dialami oleh para guru besar yang kritis selain dialami oleh aktivis, HAM, lingkungan dan BEM. Adanya penegakkan hukum yang lemah juga menjadi indikator adanya demokrasi bercorak otoriter. Bawaslu mendiamkan saja Presiden dan para menteri koalisi berkampanye tanpa cuti. Mobilisasi aparat negara dan politisasi bansos menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan alias kesewenang-wenangan juga berlangsung tanpa protes Bawaslu.
Akuntabilitas pemerintah dan lembaga-lembaga negara dan birokrasi akan menyulut korupsi. Penyalahgunaan kekuasaan telah pula diikuti oleh pejabat-pejabat di tingkat yang lebih rendah. Ibarat kanker yang dibiarkan maka penyakit itu akan membawa kematian bagi bangsa ini.
Sistem Proporsional Tertutup
Kembalinya otoritarianisme dipicu karena presiden dan melanggar 2 Tap MPR. Pertama Tap MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Salah satu poin yang tercantum dalam tap ini adalah larangan terhadap praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai wakil rakyat. Kedua, Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Ketentuan Pokok Kejuangan MPR dalam Mewujudkan Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam tap ini, MPR menegaskan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menegaskan komitmen untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Otorianisme presiden bisa tumbuh dan membesar karena ada kolusi Pemerintah dan DPR. Pelanggaran terhadap 2 Tap MPR di atas meloloskan Revisi UU ASN berisi karpet merah untuk praktek dwi-fungsi TNI dan Polri. UU ini bisa juga menjadi bagian kecurangan pra pemilu dan gentong babi untuk pemenangan pilpres. Demokrasi Bercorak Otoriter harus direstorasi karena mengkhianati reformasi. KPU harus akuntabel sebagaimana KPU di Pemilu 2004. Presiden Megawati menjadi kunci karena mematuhi janji hingga 4X di hadapan KPU bahwa ia tidak akan cawe-cawe walau Megawati ikut pencapresan di Pemilu 2004 tersebut. Harus ada UU tentang Lembaga Kepresidenan untuk memastikan Presiden tidak melanggar 2 Tap MPR di atas sebagaimana teladan Presiden Megawati. Sedangkan untuk pemilu legislatif harus kembali ke sistem proposional tertutup.
Tirani uang membunuh asas jurdil karena meminggirkan minoritas dan menggerus integritas harus disingkirkan. Hikmat Musyawarah hanya akan tercapai jika parlemen diisi dan dihadiri politisi lintas gender: kaya-miskin, perempuan-laki, mayoritas-minoritas, tua-muda, Jawa-luar Jawa, desa-kota, pro kapital - pro bumi dan seterusnya. "Tirani uang” harus dihilangkan karena juga berisi penipuan demokrasi karena memberi jalan bagi para plutokrat/oligarki mengontrol sistem politik dan pemerintahan negeri. Penguasa Oligarki akan menghalangi berjalannya demokrasi ekonomi karena melahirkan penjajahan politik berupa pemerintahan yang pro kapital dan anti kerakyatan.
Pemilu sistem terbuka (liberal) terbukti eksklusif karena koruptif bagi bangsa yang indeks persepsi korupsinya (IPK) nya 34. Pemilu 2024 telah dikorupsi baik oleh pemerintah dan negara, para caleg, penyelenggara, pengawas dan bahkan oleh pemilih. Perilaku demikian tidak terjadi saat Pemilu 2004 dengan sistem tertutup. Sistem Pemilu Proporsional lebih inklusif. Bagaimanapun, sistem demokrasi elektoral lebih akuntabel. Pemilu menjadi JURDIL sehingga bisa mewujudkan demokrasi substantif yaitu asas satu untuk semua - semua untuk semua dari sila 5 Pancasila bisa diwujudkan.
Sistem Pemilu Proporsional Tertutup akan meningkatkan akuntabilitas parpol karena mengembalikan fungsi pokok parpol untuk mengakselerasi aspirasi rakyat. Yang paling penting, sistem pemilu tertutup dapat mengurangi korupsi dan fragmentasi politik sehingga pemerintahan menjadi lebih stabil.
Di banyak negara yang pro rakyat (sosialis) memilih sistem pemilu yang tertutup atau proporsional. Di negara-negara Skandinavia, Eropa Barat, Latin Amerika, dan sebagian Afrika berhasil mewujudkan representasi perempuan yang tinggi di parlemen dan pemerintahan. Di negara-negara tersebut praktek afirmasi dijamin oleh hukum atau oleh kebijakan internal partai masing-masing. Kebijakan yang popüler adalah sistem zipper di list caleg atau melalui kebijakan “reserved seat” paska penghitungan perolehan kursi partai.
Beberapa contoh negara sosialis yang sukses menaikkan partisipasi perempuan di politik misalnya Finlandia (47.7%),Swedia (47.3%), Spanyol (43.6%), Belgia (42.8%), Denmark (42.3%), Jerman (41.4%), Austria (40.8%), Portugal (40.6%) dan Selandia Baru (48.8%). Setidaknya ada 11 negara di Amerika Latin telah menyusul Eropa di atas dengan keberhasilan tertinggi oleh Kuba: 50%. Di Afrika ada 10 negara dengan capaian tertinggi yaitu 61% di Rwanda. Di Asean, belum ada satupun yang representasi perempuan mencapai lebih dari 40%. Capaian tertinggi adalah Timor Leste sebesar 38% dan Laos 30%.
Demokrasi Bercorak Otoriter harus disudahi. Akuntabilitas Pemilu 2024 harus digugat melalui Hak Angket DPR RI. Sehingga, sistem pemilu bisa dibenahi dan konsolidasi demokrasi bisa dilanjutkan kembali.
-
Gambar ilustrasi: Media Indonesia
Catatan:
Opini ini pernah dimuat di Media Indonesia tanggal 02 April 2024 dengan judul - Nasib Perempuan di Demokrasi Bercorak Otoriter