Jum'at, 13 Desember 2019
lain-lain
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Akan tetapi, masyarakat internasional melalui PBB, baru mengakui kemerdekaan Indonesia setelah diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 23 Agustus – 2 November 1949.
Ir. H. Djoeanda memperjuangkan negara kepulauan sampai ke PBB. Bahwa NKRI adalah negara kepulauan yang terbesar di dunia, dari Sabang sampai Merauke.
Meskipun negara Indonesia sebagian terbesar adalah air, yakni 2/3 laut, sedangkan daratannya hanya 1/3 dari 17.504 pulau besar dan kecil, Djoeanda berhasil mengukuhkan posisi Indonesia, bahwa keseluruhannya, yaitu 2/3 laut dan 1/3 daratan adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Posisi itu tanpa terikat pada ketentuan internasional bahwa hanya 3 mil laut dari daratan yang dapat diklaim sebagai bagian dari Indonesia. Pokoknya wilayah darat dan laut yang berada di dalam dan di antara Sabang sampai Merauke adalah negara kesatuan yang utuh dan berdaulat.
Deklarasi Djoeanda itu akhirnya diresmikan menjadi Undang-undang No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Melalui perjuangan dan perdebatan yang panjang, akhirnya deklarasi ini pada tahun 1982 dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-3 Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982).
Deklarasi itu dipertegas kembali menggunakan UU No. 17 tahun 1985 tentang UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrachman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Untuk memperingati diresmikannya Deklarasi Djoeanda pada tanggal 13 Desember 1957, Presiden Megawati melanjutkan apa yang diawali Presiden Abdurrachman Wahid, dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI No. 126 tahun 2001 tentang Hari Nusantara.
Menurut Wakil Presiden Budiono pada perayaan Hari Nusantara tahun 2010 di Balikpapan, Kalimantan Timur, laut bagi kita bukanlah pemisah, melainkan pemersatu. Sayangnya kita belum memberdayakan secara optimal sumber daya laut yang begitu hebat bagi kemakmuran seluruh bangsa.
Budaya bahari perlu kita tanamkan kembali. Ikan, rumput laut, karang lunak, ubur-ubur, berbagai jenis ganggang perlu kita manfaatkan untuk meningkatkan perekonomian bahari kita.
Selain itu, kita perlu menyatukan negara kepulauan kita dari segi politik, sosial dan ekonomi. Kuncinya adalah perbaikan transportasi antarpulau. Setiap pulau jangan hidup sendiri-sendiri. Walaupun ada dana operasional dari pusat, tetapi tidak setiap wilayah dapat mengembangkan diri dengan optimal. Sangat tergantung pada kemampuan sumber daya manusia yang berkualitas, sumber alam yang dapat diolah dan ketersediaan sumber daya manusia.
Peluang inilah yang dilihat Jokowi berupa tol laut yang menghubungkan satu wilayah yang di pelosok dengan wilayah yang sudah berkembang. Setiap wilayah mempunyai kesempatan mengembangkan dan meningkatkan kemakmuran yang dapat dicapai bersama.
Dengan tol laut hubungan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di Nusantara dapat ditingkatkan. Hubungan ini dapat melancarkan distribusi barang hingga ke pelosok.
Tol Laut mewujudkan Indonesia sentris dan bukan Jakarta sentris atau kota-kota besar sentris lainnya. Presiden Jokowi menekankan agar dilakukan percepatan pembangunan infrastruktur. Tol laut akan memperlancar arus barang dan mobilitas manusia. Dengan demikian diharapkan harga barang-barang di pelosok bisa menjadi murah.
Tak ada lagi perbedaan harga antara satu kota besar dengan desa di pelosok. Kalaupun ada, Jokowi berharap, perbedaan tidaklah terlalu besar. Wajar-wajar saja.
Tol laut kembali menghidupkan budaya bahari yang telah dianut bangsa kita berabad lalu.