Sabtu, 21 Maret 2020
berita
Sekelompok personel TNI mengepung asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur, sehari sebelum Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke-74 tahun. Alasannya karena mereka melihat bendera merah putih yang terpasang di sekitar asrama jatuh ke selokan. Massa semakin banyak berdatangan baik dari Satpol PP maupun ormas dan mengepung asrama. Sambil melempari asrama dengan batu, sekelompok orang melontarkan beragam makian bernada rasisme.
Puluhan mahasiswa asal Papua pun ditangkap atas tuduhan penghinaan terhadap lambang negara, sebelum akhirnya dilepaskan karena tak ada bukti kuat. Namun peristiwa ini berbuntut panjang. Dua hari pasca kejadian itu masyarakat Papua turun ke jalan-jalan di berbagai kota di Papua dan Papua Barat berunjuk rasa menuntut penghentian rasialisme terhadap orang Papua. “Kami bukan bangsa monyet, kami manusia!” tegas Gubernur Papua Lukas Enembe.
Aksi itu memanas. Gedung parlemen dibakar, fasilitas publik dirusak, transportasi lumpuh. Meski jumlahnya tidak pasti, puluhan orang tewas akibat kerusuhan. Darah tertumpah. Sedikitnya tiga tersangka provokator ditangkap. Rasialisme sekali lagi memakan korban di republik ini. Dua dekade lalu rasialisme juga menumpahkan darah.
Semua berawal dari krisis finansial Asia yang menjadi awal keruntuhan ekonomi di Indonesia di bawah era kabinet Orde Baru. Mahasiswa turun ke jalan, empat di antaranya mati tertembak dalam aksi massa 12 Mei 1998. Aksi ini meluas ke konflik rasial dengan masyarakat etnis Tionghoa menjadi sasarannya. Toko-toko mereka dibakar. Korban jiwa tak terhitung.
Diskriminasi rasial kerap memakan korban tak hanya di Indonesia dan terjadi sejak berabad-abad lalu. Kerusakan dan kerugian yang tercipta akibat perpecahan ini menginisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengetuk palu atas Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 21 Desember 1965 silam.
Indonesia sebagai anggota PBB pun ikut meratifikasi konvensi tersebut lewat Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional itu. Untuk memperkuatnya, Indonesia juga melahirkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, seperti yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. UU ini dengan tegas menjelaskan, bahwa semua warga negara berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis. UU juga menyebutkan diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat menjadi hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, kehidupan bermata pencaharian, dan pemenuhan keadilan di antara warga negara.
Hak/kewajiban warga negara yang sama di mata hukum serta kemajemukan bangsa juga tercermin dalam Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan tekad bangsa menghapuskan segala diskriminasi ras dan etnis. Dengan lahirnya UU tersebut dan keberadaan Pancasila, bangsa Indonesia dengan sadar dan nyata bertekad mengatur dan menjamin kemajemukan masyarakat Indonesia yang kaya akan budaya, agama, ras dan etnis, serta menjaga ciri khas masyarakat Indonesia sejak dulu kala, yakni gotong royong dan musyawarah untuk mufakat.
Kemajemukan inilah yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia, sekaligus sumber konflik potensial, khususnya diskiriminasi rasial, jika tidak dijaga. Dengan kembali kepada UU dan Pancasila, tragedi Surabaya dan 98 diharapkan tak akan terulang kembali di masa yang akan datang.