Berita

Menjadikan Kota Ramah Air Bukan Sekadar Impian

Minggu, 22 Maret 2020 berita

Pengelolaan air sebuah kota, apalagi yang penduduknya belasan bahkan puluhan juta jiwa, bukanlah sebuah perkara mudah. Mulai dari sumber air, pengelolaan sampai mitigasi bencana harus dipetakan dengan seksama, lengkap dengan berbagai skenario untuk mengurangi dampak terhadap alam dan makhluk hidup penghuni kota ketika pasokan air berkurang drastis atau malah terputus sama sekali.

 

Sekadar gambaran, Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, misalnya, rata-rata warganya mengonsumsi air bersih antara 180-200 liter per hari. Jumlah yang tidak sedikit ini, selama berpuluh-puluh tahun dipasok dari air tanah dan perusahaan air minum. Bergantung pada dua sumber utama ini sebagai pemasok air bersih tentu menjadikan pengelolaan pasokan air menjadi tidak berkelanjutan dan ramah lingkungan.

 

Pemerintah kota harus mampu mencari sekaligus menerapkan teknologi pengolahan air alternatif yang tidak saja mampu meningkatkan kapasitas produksi air bersih, tapi juga menjaga alam sebagai penyedia utama air. Teknologi-teknologi seperti desalinasi air laut dapat dijadikan cara untuk mendapatkan air bersih tanpa harus merusak alam. Kota ramah air juga membutuhkan kolaborasi semua pihak agar tidak hanya menjadi sebuah wacana tapi konsep yang bisa diimplementasikan dengan baik.

 

Pemerintah bersama warga bisa bergotong royong membenahi saluran air kota secara menyeluruh sehingga tidak ada lagi limbah yang masuk ke sungai sehingga kualitas air sungai yang nanti diolah oleh perusahaan air minum daerah bisa terjaga atau bahkan meningkat pesat. Penataan tepian sempadan sungai dan penambahan ruang terbuka hijau (RTH) kota juga dapat memperluas daerah resapan dan tangkapan air. Yang perlu diperhatikan juga adalah memprioritaskan perbaikan tata kelola air, baik sungai dan pengelolaan limbah rumah tangga, maupun limbah pabrik yang melewati sungai. Sinkronisasi hal-hal ini akan menjadikan kualitas air sungai dan air tanah membaik dan berdampak positif pada lingkungan sebuah kota.

 

Kolaborasi pemerintah dan swasta untuk meningkatkan pengelolaan air bersih yang lebih baik dapat dimulai dengan pembentukan komunitas hijau yang menjadi wadah diskusi seputar pengelolaan air yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Forum ini dapat dipakai untuk mengajak warga di bantaran sungai untuk secara sukarela digeser – bukan digusur – dari permukiman tepi sungai atau tepian danau/waduk ke kawasan hunian terpadu ramah lingkungan tidak jauh dari lokasi sekarang.

 

Sudah banyak contoh di seluruh dunia mengenai pengelolaan kota ramah air dilakukan bersama-sama semua unsur kota, sehingga kota-kota tersebut semakin inklusif dan layak huni. Di Calgary, Kanada, program “30-in-30” yang dimulai sejak 2003 berupaya mengurangi konsumsi air 30 persen sampai 30 tahun ke depan (2033) melalui pemasangan jaringan pipa air bersih yang dilengkapi dengan meteran air canggih. Kota Buenos Aires di Argentina memasang meteran air berteknologi tinggi sehingga mampu mengurangi konsumsi air hingga 40 persen. Di Brazil, ada kota Sao Paolo yang mengerahkan inspektur air untuk mengecek kebocoran air (pencurian air) dan memonitor penggunaan air bersih. Hal sama dilakukan di Monterrey, Meksiko, dan berhasil mengurangi kebocoran air bersih dari 32 persen di tahun 1998 menjadi 21 persen pada 2008.

 

Di Amsterdam, Belanda, pemerintah kotanya sadar secara geografis mereka berada di bawah permukaan air laut, sehingga air tawar yang diproduksi dengan berbagai teknologi harganya menjadi mahal. Kondisi ini menjadikan air sebagai sumberdaya yang sangat berharga dan pemerintah kota Amesterdam terus-menerus menggalakkan budaya hemat air kepada semua lapisan masyarakat. Energi terbarukan digunakan untuk mengolah air sekaligus untuk menghasilkan energi tambahan yang diberikan dengan harga rendah atau cuma-cuma kepada warga Amsterdam.